Rabu, 28 Oktober 2020

CONTOH CERPEN BERTEMA "NOSTALGIA"

                         Cover buku

MEMORI GEMERINCING BIJI BEKEL

Jam 14.30. Sekilas kulirik jam dinding berwujud persegi yang terpajang agak miring di dinding pemisah antara kamarku dengan kamar Tesa, adikku. Sebelum akhirnya tatapanku kembali kosong ke layar televisi yang berjarak satu setengah meter di samping kiri kamar Tesa. Meski kupaksakan fokus, tetap saja tidak bisa. Siaran di televisi sama sekali tidak menggugahku kali ini. Padahal aku tahu sendiri program gameshow kesukaanku sedang tayang dari setengah jam yang lalu. Tidak seperti biasanya. Program itu selalu kutunggu-tunggu setiap harinya. Tapi hari ini…

***

Kebiasaanku sejak setengah tahun yang lalu masih kulakukan hingga sekarang. Ya, apalagi kalau bukan duduk manis di sofa lama, seraya siaga di depan layar televisi, sejam sebelum program favoritku ditayangkan. Dengan gadget tergenggam manis di telapak tangan. Tentu itu hanya sebagai penghibur semata. Itung-itung mengusir rasa bosan. Karena dari kecil, aku amat begitu menyukai yang namanya bermain. Meski nuansa yang disodorkan berbeda, setidaknya aku bisa menikmati berbagai permainan di dalam benda elektronik berwujud balok pipih ini, bukan? 

Lucu jika mengingat usiaku yang hampir mencapai 27 tahun. Karena rata-rata orang dulu selalu bilang ‘kamu kan sudah besar. Tidak pantas jika terus main game. Seperti anak kecil saja kamu ini’. Padahal jika dilihat-lihat, di era globalisasi ini yang namanya bermain bukan sekadar penghibur semata atau pun penghilang stres. Sudah banyak yang menjadikannya sebagai persaingan serius. Tujuannya berbagai macam. Dari mulai untuk mendapat penghasilan, bahkan ada pula yang ingin menang hanya untuk mendapat gelar. Tentu, permainan yang dimaksud bukanlah permainan tradisional. Ya… kalian pasti mengerti sendiri. Seakan permainan tradisional sudah tidak ada artinya lagi di tengah masyarakat.  

Tapi… entahlah. Kenapa aku seperti ini. Kenapa semenjak umurku dua belas tahun, yang namanya bermain, seakan menjadi bagian dari anganku. Bagian yang terkadang menghiasi mimpi indahku setiap malamnya.

BENARKAH? TAPI TIDAK MUNGKIN SAMPAI SEBEGITUNYA, DINAR. Baiklah, kini aku mengaku. Waktu kecil, memang aku sangat menyukai yang namanya bermain. Tapi jika bukan karena sesuatu yang membuat hatiku bergetar kala hari itu, mungkin aku sudah melupakan sensasi bermain bekel di tengah hujan lebat. Kala petir bersautan dengan riuhnya percikan bulir-bulir hujan. Dibumbui sekalimat yang terlontar begitu saja dari mulutnya. Seakan tembakan petir terdahsyat pun tak bisa menandingi gemuruhnya hati ini karena kalimat itu.

***

“Yey… akhirnya giliranku juga. Lihat saja kali ini. Nggak akan kubiarkan kamu menang lagi,” dengan sigap Rahmat meraih enam biji bekel yang terbuat dari kuningan, yang kubiarkan tergeletak di lantai ubin, setelah permainanku berhenti karena bolanya tanpa sengaja terjatuh menyerolong dari genggamanku.

Rahmat memulai aksinya. Dia melambungkan bola bekel berbahan karet di depannya. Kira-kira setinggi dahinya. Sebelum bola diambil, dia membalikkan satu biji bekel menjadi nangkarak (terlentang). Hampir mirip bentuk beca. Lalu jika sudah memantul sekali ke lantai, barulah ditangkap bolanya. Lambungan bola selanjutnya pun sama. Hingga keenam biji bekel nangkarak semuanya, barulah diambil satu persatu (karena dia masih berada di mi nangkarak satu). Jika dia berhasil, lanjut ke mi nangkarak dua. Yang artinya setiap satu pantulan bola, harus mengambil dua biji bekel yang sudah nangkarak semuanya. Tapi eh tapi… khayalan tetaplah khayalan. Saat dia mulai mengambil satu persatu bijinya, biji ketiga malah terlepas dari genggamannya. Tentulah permainannya berhenti. Dan permainan sudah pasti beralih.

Kini giliranku lagi. Tak disangka sebentar sekali menunggu giliranku bermain, akhirnya tiba juga. Hihi… bukannya sombong, itu karena bukan akunya yang terlalu hebat. Tapi kemampuan Rahmat yang kurang dalam permainan bola bekel.

Saat hendak memulai melambungkan bola, tiba-tiba petir muncul di tengah hujan yang mulai melebat. Kami berdua yang sedang duduk berhadapan di teras rumahku, sontak terperanjat. Aku yakin sekali jantungnya berdegup kencang layaknya yang kualami sekarang. Tanpa disadari, kami berdua sama-sama menutup telinga masing-masing dengan kedua tangan. Menunggu gemuruh petir itu benar-benar mereda. Meski kami tahu hujan lebat ini tidak akan secepat itu mereda.

Mungkin satu menit sudah berlalu. Dan saat itu baru kusadari jikalau gemuruh petir sudah tak mengetuk gendang telingaku lagi. Oya, selama petir berpacu tadi, saking takutnya, bukannya masuk ke dalam rumah, aku malah sibuk menutup telinga dan mataku. Rahmat juga sama saja. Eh… Rahmat! Dia ternyata belum membuka telinga maupun matanya. Entah kenapa. Seakan hujan deras ini menularkan kesenduan padanya. Lihat. Pelupuk matanya basah kuyup. Wajah putihnya jadi memerah.

“Mat. Rahmat. Kamu nggak apa-apa? Kenapa menangis?” aku mengoyak kecil lengan kirinya yang masih terpaut di daun telinganya.

Tidak tahu apakah dia bisa mendengar suaraku atau tidak, di tengah soraknya tangisan awan ini. Dan aku masih terus menunggu reaksinya. Selang beberapa jenak, perlahan tangannya turun, matanya terbuka. Menatapku sayu.

“Makasih karena kamu mau nemenin aku bermain hari ini. Aku jadi nggak ketakutan lagi. Di rumah… Emak sama Abah selalu saja bertengkar. Aku takut, Din,” nada suaranya perlahan lirih. Dia menunduk lesu.

Jadi begitu. Pantas saja sekitar jam 9.00 pagi tadi, dia datang ke rumahku dengan gelagatnya yang tergesa-gesa. Karena dia langsung mengajakku bermain, aku jadi tak sempat bertanya, kenapa di tengah gerimis dia datang ke rumahku hanya untuk bermain. Padahal jarak rumahku dengan rumahnya tidak bisa dikatakan dekat. Banyak temannya yang jarak rumahnya jauh lebih dekat ketimbang denganku. Bahkan ada pula yang bersebelahan dengannya. Tapi kenapa dia…

“Tenang, Mat. Kata Emakku, semua orang pasti pernah bertengkar. Seperti kita dan teman-teman yang terkadang ribut saat main gundu (kelereng). Ingat tidak waktu aku lagi main egrang, tiba-tiba kamu muncul di depanku. Dan akhirnya aku jatuh dari pijakan bambu. Kakiku jadi keseleo (terkilir). Terus aku marah sama kamu. Eh, kamu nggak mau mengaku salah. Oh, ya, ada lagi. Waktu main congklak, aku pernah curang. Ternyata lawan mainku menyadarinya. Dan kami pun bertengkar. Ah… pokoknya begitulah. Bertengkar itu sudah biasa, Mat. Nanti juga mereda.” Jelasku untuk membuatnya merasa lebih baikan.

Dapat kulihat garis bibirnya yang melengkung ke atas, seraya mengangguk pelan. Syukurlah. Air matanya sudah berhenti mengalir. Bagus. Aku bisa melanjutkan giliranku. Dugh… bola memantul, dan hendak kutangkap setelah kutangkubkan biji bekel yang pertama. Tunggu! Sekilas aku melirik Rahmat yang berada setengah meter di hadapanku. Mataku menangkap sesuatu. Dia sedang menatap ke samping kanannya. Entahlah. Coba kulihat. Bukankah itu Mak Ijah, emaknya Rahmat? Sepertinya beliau menuju ke rumahku. Tapi kenapa begitu tergesa-gesa. Tidak pakai payung pula.

“Maaf, Din. Aku dulu yang main, ya. Nanti kamu jalan dua kali setelah ini,” secepat kilat dia merenggut semua biji bekel plus bolanya dari kepalanku.

Aku tak bisa berkutik. Celingak-celinguk bergantian memandang Rahmat, dan emaknya yang sudah hampir sampai ke sisi teras.

“Rahmat, pulang! Kita berdua harus siap-siap pergi dari kampung ini. Emak ‘kan sudah bilang dari semalam. Ayo buruan!” seakan tak mempedulikan keberadaan diriku, beliau yang basah kuyup menarik erat pergelangan tangan kanannya Rahmat.

Tentu badannya yang kecil tidak mampu meronta melebihi kekuatan Emaknya. Dia pun terseret. Lantas membuat bola bekelku menggelinding ke tanah yang saat itu sedang diguyur hujan. Bukan itu saja. Biji bekelnya terlempar ke mana-mana. Di tengah suara gemerincingnya, telingaku tiba-tiba menangkap sesuatu dengan suara lantang.

“Simpan baik-baik ya bekelnya, Din. Nanti kita main lagi. Oh, ya, ada sesuatu yang mau aku katakan ke kamu. Tunggu, ya,” ujarnya seraya tersenyum hangat padaku di tengah dinginnya hujan.

Heran. Dipaksa pergi seperti itu, dia masih sempat-sempatnya tersenyum padaku. Bahkan di kala wujudnya yang hampir mengecil di kejauhan, dapat kulihat tatapannya yang masih mengarah padaku. Tapi entah kenapa… aku merasa ada gemuruh yang luar biasa dahsyat melanda dadaku.

***

“DINAR! BANGUN! LIHAT TUH SUDAH JAM BERAPA! Jangan mentang-mentang libur kerja, kamu bisa seenaknya bangun siang. DINAR! DINAR…!” suara Emak sudah melebihi volume ributnya gemuruh hujan pagi ini.

Huafft. Kurenggangkan tubuhku selepas tidur nyenyak diselimuti nuansa hujan sejak tadi malam. Sudah lama tidak hujan, sekalinya hujan, eh… sederas dan selama ini. Tapi tidak apa-apa. Hujan bukanlah sesuatu yang mengerikan bagiku. Justru hujanlah yang pertama kalinya membuat taman hatiku jadi bermekaran indah. Yang selalu membuatku tersenyum tanpa sebab. Hmm… sepertinya aku cocok jadi peri hujan, atau mungkin monster hujan.

Aku beranjak dari tempat tidur. Berjalan sempoyongan sembari menatap sekilas ke arah jarum jam beker berwarna biru pudar, yang terletak di atas meja rias, di samping ranjang. Jam 9.07. Baiklah. Sudah saatnya aku ke teras untuk menghirup udara segar.

Aku terduduk di sisi teras sebelah kanan. Kepalaku menunduk, tatapanku kosong. Entahlah. Saat hujan tiba, apalagi di pagi hari seperti ini, benakku selalu memutar ulang perkataan Rahmat kala itu. Padahal sudah hampir lima belas tahun aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Ah, tidak. Bahkan untuk mendengar kabarnya, sekali pun tidak pernah. Ya… semenjak emaknya mengajaknya pergi dari kampung ini, hubunnganku dengannya benar-benar terputus tanpa ungkapan pamit. 

Aneh. Waktu itu aku masih kecil. Aku bahkan tidak paham yang dinamakan sahabat. Tapi kenapa aku selalu menunggunya. Menunggu perkataan yang kuanggap janji itu, benar-benar ditepatinya. Padahal bisa saja itu hanya candaan atau omong kosong belaka. Ditambah, aku pun tidak tahu pasti apa yang sebenarnya hendak dia katakan padaku. Mungkin sesuatu yang bisa mendebarkan dada, atau mungkin jauh dari bayanganku selama ini. Seandainya aku tidak menganggapnya serius, hati ini pasti akan terlepas dari kurungannnya.

Beberapa jenak pikiranku berubah kosong. Sebelum akhirnya seseorang di samping kiriku menepuk pundakku. Aku beralih pada sumber tepukan itu. Tanpa disadari goresan senyum tersungging menghiasi wajahku, sesaat setelah menikmati hangatnya senyum itu. Bukan main. Degup jantungku berpacu lagi setelah sekian lama tidak begini. Apa ini mimpi? Gambaran sosok pria di hadapanku mengingatkanku pada Rahmat kecil. Lihat. Tahi lalat yang menempel di pangkal hidungnya, tanda lahir berwarna cokelat yang tertera di dahi kanannya, itu sungguh persis dengan yang dimiliki Rahmat. Tunggu dulu! Aku tidak sanggup lagi untuk terkejut melihat sesuatu yang indah terpajang di hadapanku. Hoh… apa ini nyata? Perlahan kuraba wajahnya. Benar-benar bisa kusentuh. Apa mungkin dia…

“Kenapa? Apa kamu sudah lupa seperti apa wajahku. Hmm… sayang. Padahal aku mau mengembalikan satu biji bekel ini. Waktu itu tanpa sengaja menyangkut di saku celanaku. Aku tidak sempat mengembalikannya karena Emak tidak mengijinkanku berlama-lama di kampung ini. Tapi sekarang aku sudah kembali,” seraya menyodorkan satu biji bekel yang sudah agak menghitam padaku, “ada satu hal lagi yang mau kukatakan padamu. Tapi nanti, setelah kita menyelesaikan permainan yang sempat tertunda dulu. Yah… kuharap kali ini aku bisa menang darimu. Baiklah, Ayo kita main!” ujarnya bersemangat, membuat goresan senyumku tak bisa lepas dari kenyataan ini.

                                 E-sertifikat

Penulis : Krisma Aryani
Penerbit : Kelompok Penerbit Tinta Merah
ISBN : 978-602-61654-5-9

*Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TENTANG HAK CIPTA

UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta secara umum mengatur tentang: A. Pelindungan Hak Cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang sejalan...